Jumat, 27 Januari 2012

sejarah

BERAKHIRNYA ORDE BARU DAN LAHIRNYA REFORMASI Orde baru berkuasa selama 32 tahun, hal ini tentu bukan waktu yang pendek. Lamanya kekuasaan yang dipegang mengakibatkan banyak terjadi penyelewengan. Antara lain munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tahukah kamu bagaimana sikap masyarakat menghadapi hal ini. Anak-anak, bagaimanakah seandainya mesin pompa air dinyalakan terus sedangkan kran air tidak dibuka? Hal itu tentunya mesin air tersebut akan panas dan ketika dibuka akan terasa air meledak ke segala arah. Begitu juga Negara Republik Indonesia tercinta ini ketika di bawah pemerintahan Orde Baru yang sangat lama memerintah. Maka masalah-masalah bangsa ini dari yang ringan hingga yang berat bertahun-tahun yang belum teratasi akhirnya menimbulkan kekecewaan masyarakat. Puncak kekecewaan itu dilampiaskan dalam suatu aksi demonstrasi untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Suatu kekuatan tersebut dimotori oleh para mahasiswa yang menginginkan suatu perubahan atau reformasi di bidang politik, ekonomi dan hukum. Bagaimana peristiwa berakhirnya Orde Baru dan lahirnya Reformasi tersebut akan kita pelajari dalam bab ini. Dengan mempelajari bab ini tentunya kita akan dapat memahami peran para pelajar ataupun mahasiswa pada masa lalu dalam menegakkan keadilan. Dengan demikian para pelajar merupakan bagian penting dari elemen bangsa dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. A Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru 1. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan- kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah sebagai berikut. a. Pembubaran PKI. b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S / PKI. c. Penurunan harga/perbaikan ekonomi. Ketiga tuntutan di atas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI beserta ormasormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G30 S /PKI. Selain itu juga keinginan adanya perubahan ekonomi yakni penurunan harga. 2. Surat Perintah Sebelas Maret Aksi untuk menentang terhadap G 30 S /PKI semakin meluas menyebabkan pemerintah merasa tertekan. Oleh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar). 3. Sidang Umum MPRS Sidang Umum IV MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat memperkokoh tegaknya Orde Baru antara lain sebagai berikut. 1) Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret. 2) Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme- Komunisme di Indonesia. 3) Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. 4) Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX. 4. Nawaksara MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G30 S/ PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (sembilan pasal). Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S /PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena itu DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya DPR- GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden. Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat umum dan ABRI. 5. Politik Luar Negeri Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah satu blok pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu Orde Baru bertekad untuk untuk mengoreksi bentuk-bentuk penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama. Politik luar negeri yang memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS (kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri. Sebagai landasan kebijakan politik luar negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII/ MPRS / 1966. Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional. Sesuai dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada. Namun bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer. Sebagai wujud dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru melakukan langkah- langkah sebagai berikut. (1) Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966. Selanjutnya sejak 31 Agustus 1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan Besar. (2) Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya. (3) Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967. 6. Pemilihan Umum Pemilihan Umum pada masa Orde Baru pertama kali dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu berbeda dengan pemilu tahun 1955 karena telah menggunakan sistem distrik bukan sistem proporsional. Dalam sistim distrik ini partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain. Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10 kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar. Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya pemilu-pemilu di Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan Karya. 7. Sidang MPR Tahun 1973 Dengan Pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunyai MPR tetap, yakni bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil Pemilu I adalah Idham Chalid. Selanjutnya MPR ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya sebagai berikut. 1) Tap IV /MPR /73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai pengganti Manipol. 2) Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI. 3) Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI. Dengan demikian RI telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat UUD 1945. B Data Statistik Ekonomi Orde Baru Pada awal Orde Baru program pemerintah diarahkan untuk menyelamatkan ekonomi nasional terutama upaya menekan inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi 650 % setahun tidak memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan cepat akan tetapi harus melakukan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi terlebih dahulu. Dengan stabilisasi untuk menekan inflasi agar harga barang-barang tidak membumbung tinggi. Sedangkan rehabilitasi untuk memperbaiki sarana dan prasarana fisik. Program “Pembangunan Nasional Berencana” yang dicanangkan Orde Baru dilaksankan secara bertahap dan terencana melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pelita I yang dimulai pada tanggal 1 April 1969 dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sedangkan sasaran yang hendak dicapai adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Untuk membiayai pembangunan pada Pelita I digali sumber- sumber keuangan dan tabungan pemerintah, kredit jangka menengah dan jangkan panjang dari perbankan, penanaman modal dan reinvestasi oleh perusahaan swasta nasional, perusahaan asing dan perusahaan negara serta bantuan proyek luar negeri. Dengan melakukan pembangunan maka pada akhir Pelita I yakni tanggal 31 Maret 1974 terjadi penigkatan dalam bidang ekonomi. Dalam bidang pertanian terutama beras mengalami kenaikan rata- rata 4 % setahun. Sedangkan produksi kayu rata-rata 37,4 % setahun. Kenaikan produksi beras ini dikarenakan adanya perluasan areal pertanian dan terlaksananya program Bimas dan Inmas serta dengan Panca Usaha Tani. Selain produksi beras, ekspor ikan dan udang juga mengalami peningkatan rata-rata 62 % setahun. Produksi industri juga mengalami kenaikan terutama pupuk Pusri di Palembang dan mulai bekerjanya Petrokimia Gresik. Sedangkan industri tekstil mengalami kemajuan pesat, baik dalam produksi benang tenun maupun bahan tekstil. Benang tenun meningkat dari 177.000 bal pada awal Pelita I menjadi 316. 247 pada akhir Pelita I, sedangkan bahan tekstil dari 449, 8 juta menjadi 920 juta meter. Adapun grafik produksi beras, industri tekstil, hasil pengolahan minyak maupun arus wisatawan ke Indonesia dalam kurun waktu Pelita I adalah sebagai berikut. a. Grafik 14.1 Produksi Beras Tahun 1968-1973 b. Grafik 14.2 Industri Tekstil Tahun 1968-1973/1974 c. Grafik 14.3 Hasil Pengolahan Minyak Tahun 1968-1973 d. Grafik 14.4 Arus Wisatawan ke Indonesia Tahun 1968-1973 Pada Pelita II yang dimulai pada tanggal 1 April 1974 dalam kegiatan ekonomi di Indonesia banyak menghadapi tantangan. Merosotnya kegiatan ekonomi di negara-negara industri menyebabkan berkurangnya ekspor berbagai hasil produksi Indonesia. Sementara itu inflasi yang terjadi di negara-negara industri menyebabkan naiknya harga barang- barang modal yang diperlukan dalam pembangunan. Walaupun banyak tantangan dalam kegiatan ekonomi Indonesia akan tetapi secara keseluruhan dalam Pelita II pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7 % setahun. Produksi tekstil meningkat dari 900 juta menjadi 1,3 milyar meter. Bila sebelum Pelita II Indonesia mengimpor pupuk urea maka pada akhir Pelita II Indonesia berhasil mengekspor pupuk urea ke negara-negara ASEAN terutama Filipina dan Muangthai. Sedangkan produksi semen juga meningkat dari 900 ribu ton menjadi 5 juta ton. Selanjutnya pada tahun 1983 /1984 (akhir Pelita IV) ekonomi di Indonesia menunjukkan peningkatan, misalnya produksi beras pada tahun 1973 mencapai 14, 61 juta ton sedangkan pada tahun 1983 /1984 meningkat menjadi 25, 4 juta ton. Sedangkan produksi tekstil pada tahun 1973 mencapai 926, 7 juta meter dan pada tahun 1983 /1984 mencapai 2.347, 2 juta meter. Dengan demikian pembangunan nasional pada waktu itu mengalami perkembangan. C Berakhirnya Orde Baru: Krisis Ekonomi dan Gerakan Reformasi Perjalanan sejarah Orde Baru yang panjang, Indonesia dapat melaksanakan pembangunan dan mendapat kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Rakyat Indonesia yang menderita sejak tahun 1960- an dapat meningkat kesejahteraannya. Akan tetapi keberhasilan pembangunan pada waktu itu tidak merata karena terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan Orde Baru ingin mempertahankan kekuasaannya terus menerus dengan berbagai cara. Hal ini menimbulkan berbagai efek negatif. Berbagai bentuk penyelewengan terhadap nilai- nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 itu disebabkan oleh adanya tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejak pertengahan tahun 1996 situasi politik di Indonesia memanas. Golongan Karya yang berkeinginan menjadi mayoritas tunggal (Single Majority) mendapat tekanan dari masyarakat. Masyarakat menuntut adanya perubahan di bidang politik, ekonomi, demokratisasi dalam kehidupan sosial serta dihormatinya hak asasi manusia. Hasil Pemilihan Umum 1997 yang dimenangkan Golkar dan menguasai DPR dan MPR banyak mengandung unsur nepotisme. Terpilihnya Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden RI banyak mendapat reaksi masyarakat. Sedangkan pembentukan Kabinet Pembangunan VII dianggap berbau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Pada saat memanasnya gelombang aksi politik tersebut Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 sebagai pengaruh krisis moneter yang melanda wilayah Asia Tenggara. Harga-harga kebutuhan pokok dan bahan pangan membumbung tinggi dan daya beli rakyat rendah. Para pekerja di perusahaan banyak yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga semakin menambah pengangguran. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Mereka menambah hutang tanpa kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya perekonomian mengalami krisis, nilai rupiah terhadap dollar merosot tajam hampir Rp.15.000,00 per dollar AS. Perbankan kita menjadi bangkrut dan banyak yang dilikuidasi. Pemerintah banyak mengeluarkan uang dana untuk Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) sehingga beban pemerintah sangat berat. Dengan demikian kondisi ekonomi di Indonesia semakin parah. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang merosot di berbagai bidang tersebut maka para mahasiswa mempelopori demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi, kolusi nepotisme (KKN). Kemarahan rakyat terhadap pemerintah memuncak pada bulan Mei 1998 dengan menuntut diadakannya reformasi atau perubahan di segala bidang baik bidang politik, ekonomi maupun hukum. Gerakan reformasi ini merupakan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengendalikan pemerintahan selama 32 tahun. Pada awal Maret 1998 Kabinet Pembangunan VIII dilantik, akan tetapi kabinet ini tidak membawa perubahan ke arah kemajuan. Oleh karena itu rakyat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di berbagai bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya. Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan tewas. Di antara mahasiswa Trisakti yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan. Pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massa dengan membakar pusat-pusat pertokoan dan melakukan penjarahan. Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Mereka menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden akan tetapi Presiden Soeharto hanya hanya mereshufle kabinet. Hal ini tidak menyurutkan tuntutan dari masyarakat. Pada tanggal 20 Mei 1998 Soeharto memanggil tokoh-tokoh masyarakat untuk memperbaiki keadaan dengan membentuk Kabinet Reformasi yang akan dipimpin oleh Soeharto sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat tidak menanggapi usul Soeharto tersebut. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada wakilnya, B.J. Habibie. Selanjutnya B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie kehidupan politik mengalami perubahan, kebebasan berserikat telah dibuka terbukti banyak berdiri partai politik. Pada bulan November 1998 dilaksanakan Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya adalah tentang pelilihan umum secepatnya. Selanjutnya Pemilihan Umum setelah berakhirnya Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1998 yang diikuti oleh 48 partai politik. Pada Pemilu kali ini suara terbanyak diraih oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP). Dalam Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada bulan Oktober 1999 terpilihlah K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar